Pagi ini saat sedang berseluncur di dunia maya, mata saya tertumbuk pada komen di atas. Di hari sebelumnya saya juga mendengar cerita konflik yang mewarnai hari-hari anak-anak yang tengah berkegiatan bersama dalam kelompok. Kejadian-kejadian kecil yang pastinya bukan kebetulan ini membawa ingatan saya ke belakang dan tergerak menuliskan apa yang selama ini hanya di memori :-D
Masih segar rasanya dalam ingatan hari-hari yang dipenuhi rasa frustasi karena anak-anak yang tak hentinya bersitegang ketika bersama Fadjar dan Melly baru mulai menggulirkan program pengembangan karakter anak, JURASIK, di penghujung tahun 2010. Sempat kami berpikir kemampuan menyelesaikan konflik itu seharusnya secara natural ada dalam diri anak. Hingga akhirnya kami menyadari keterampilan menyelesaikan konflik mutlak perlu dilatih bila kami semua, baik anak-anak maupun fasilitator, ingin melanjutkan program dengan bahagia :-D
Di tahun 2010 itu browsing sana-sini akhirnya kami punya prosedur untuk menyelesaikan konflik dan itu menjadi pegangan bersama. Selama ini tak pernah terpikir untuk memuatnya di sini, tapi dorongan pagi ini membuat saya bongkar hard disk dan menemukannya kembali. Termasuk selembar file print out pilihan cara/ide menyelesaikan konflik, yang biasa kami tawarkan ke anak-anak bila mereka kesulitan atau tidak tahu cara menyelesaikan konfliknya. Membukakan pilihan cara ini kami perhatikan efektif membantu anak untuk bisa menyelesaikan konfliknya sendiri. Sayangnya referensi yang menjadi sumber inspirasi cara yang kami pakai ini tidak tersimpan oleh saya.
Bila terjadi konflik inilah 5 langkah yang kami praktekkan:
- Tenangkan diri (bila anak terlalu emosional dan tidak dapat bicara)
- Bertemu dan bicarakan problemnya (tindakan atau halnya, bukan orangnya)
- Bergiliran bicara dan mendengarkan (masing-masing menyampaikan versinya dan perasaannya)
- Pahami perasaan pihak yang lain (dengan mengulang apa yang disampaikan pihak yang berkonflik)
- Sepakati cara penyelesaian bersama (untuk dijalankan bersama)
Selain itu kami juga berlatih dengan bermain peran (role play) untuk mensimulasikan suatu kondisi dimana konflik terjadi. Ketika itu kami berkegiatan dengan anak-anak usia 7-8 tahun dan berikut beberapa contoh kasus yang kami pakai. Tentunya ini sesuai dengan potensi konflik yang dihadapi anak-anak seusia tsb. Semakin besar anak, tentu penyebab konfliknya juga akan berbeda. Namun cara penyelesainnya menurut saya tetap relevan, bahkan untuk dipakai orang dewasa menyelesaikan konflik sekalipun. Latihan dan keluasan wawasan cara menyelesaikan konflik kami harap dapat membuat anak-anak trampil dan mandiri menyelesaikannya tanpa perlu bantuan penengah (mediator), serta tidak berlanjut sampai pada kekerasan verbal maupun fisik. |