Komposter kawat
Terinspirasi dari hasil browsing di google dengan keyword "mesh composter" akhirnya kami mencoba komposter kawat. Komposter kawat berukuran sekitar 1 m3 sudah kami pakai sejak tahun 2010 dan terus kami pakai sampai pertengahan tahun ini karena kepraktisannya. Kami mengisinya dengan daun dan sampah daur berselang-seling, lalu didiamkan. Sampah akan otomatis menyusut. Kekurangannya adalah di musim hujan komposter yang terbuka ini kadang mengeluarkan semilir bau.
Kami punya dua kompoter kawat, agak berbeda dengan yang kami ceritakan di atas, komposter kedua hanya kami isi sampah daun. Sampah dalam komposter ini nyaris tidak menyusut, tapi juga tidak berbau bila terkena hujan. Dari hasil cari tahu, tampaknya kombinasi sampah daun kering yang mengandung carbon dengan sampah dapur yang mengandung nitrogen mendukung kehidupan mikroorganisme pengurai sampah organik. Tanpa adanya nitrogen dari sampah dapur, mereka sulit hidup.
Di pertengahan tahun 2014, kami membuat komposter bata untuk memecahkan persoalan bau dengan komposter kawat serta ingin rutin bisa memanen hasil. Niatnya ingin serius mulai berkebun. Disain komposter bata kami tiru dari milik Bapak Sobirin di Bandung. Ada pintu kecil di bagian bawah, tempat kami bisa memanen kompos. Kami juga mulai mengembangbiakan mikroorganisme lokal (MOL) untuk mempercepat penguraian dengan proses fermentasi.
Sepanjang musim kemarau, sampah di komposter bata hanya menyusut sedikit sekali. Bila kami cek tidak terasa adanya panas yang menandakan adanya proses fermentasi. Kompos yang dihasilkan pun masih relatif kasar ukurannya. Setelah diayak kami mendapatkan hasil sekitar 5 kg kompos, tapi terlihat banyak serangga seperti kutu kecil di dalamnya. Dugaan kami karena prosesnya kurang panas, maka serangga dapat hidup.
Awalnya kami pikir penyebab proses yang terjadi dalam komposter bata kurang memuaskan adalah ukuran sampah kami yang terlalu besar karena tidak dicacah. Namun hasil konsultasi dengan Ibu Sere, pegiat lingkungan di Perumahan Bumi Malaka Asri 1, tanpa dicacah pun seharusnya kompos yang baik bisa diperoleh. Beliau menganjurkan mencoba metoda gundukan.
Inti dari metode gundukan adalah membuat sampah menjadi lapisan-lapisan dengan urutan sbb:
- Pertama sampah harus dalam kondisi basah (siram dengan air dan injak-injak).
- Kemudian siram sampah dengan air yang sudah dicampur dengan MOL, pastikan semua sampah tersiram.
- Buat lapisan sampah dengan ketinggian 15-20 cm.
- Taburi dengan pupuk kandang seperti menaburi donat dengan gula halus.
- Ulangi untuk lapisan kedua dan seterusnya hingga maksimal 5 lapis.
- Tutup rapat gundukan dengan terpal.
- Coba cek keesokan harinya, harusnya akan terasa hangat di tengah gundukan.
- Setelah seminggu aduk gundukan dan ulangi membuat lapisan seperti cara di atas.
- Menurut Ibu Sere dalam 6-8 minggu kompos akan matang.
Benar saja, setelah kami coba metode gundukan di atas, dalam waktu singkat sampah dari dua komposter kawat kami yang ukurannya @ 1 m3 menyusut hanya tinggal segundukan di foto di bawah ini.
Penutup
Akhirnya komposter bata kami bongkar isinya dan susun ulang per lapis seperti saran ibu Sere. Saat ini sudah terlihat penyusutan yang signifikan, semoga hasil panen kami bisa lebih baik. Komposter kawat kini kami gunakan sebagai wadah daun kering sebelum kami olah sesuai cara membuat kompos dengan cara gundukan.