"Eka berprestasi baik selama setahun di sini. Saat ini Eka lagi magang di OISCA Sukabumi selama sebulan, sampai 14 Februari. Wisudanya tanggal 20 Februari, jika ibu bisa hadir sekalian jemput Eka," demikian isi pesan singkat yang saya terima dari Emili, staf dari The Learning Farm. Asal muasal yang menyebabkan saya ada di Cipanas senin lalu (20/2/17).
|
Pagi ini kami bertiga berencana menghadiri wisuda Eka Meydiana, anak asuh kami di GARASI, dari The Learning Farm (TLF) yang juga sering dikenal dengan nama Yayasan Karang Widya. Sebuah program residensi pertanian organik yang dirintis untuk menyelamatkan pemuda kritis usia 14-25 tahun. Oktober tahun lalu lembaga yang awalnya diinisiasi oleh World Education ini genap berusia 11 tahun dan sebanyak 800 pemuda telah bergabung dalam programnya [1] & [2].
TLF memiliki dua tingkatan program, tingkat dasar (Basic) selama 100 hari dan siswa tingkat lanjut (STL) selama 200 hari. Kurikulum Basic terdiri dari 60% pertanian organik dan 40% keterampilan hidup [3]. Kesempatan menjadi STL ditawarkan pada lulusan Basic yang memenuhi kualifikasi yang disyaratkan dan tentunya berkeinginan kuat untuk melanjutkan. Bila peserta ikut hingga lulus STL berarti ia tinggal bersama TLF hampir selama setahun.
Eka adalah anak asuh GARASI kedua yang menyelesaikan program tingkat dasar, namun yang pertama menyelesaikan STL. Sebelumnya Kusnata Bowo lulus dari Program Basic Batch 24. Eka lulus dari Program Basic Batch 25, lalu langsung melanjutkan STL. Bagi kami ini kali pertama berkunjung ke TLF dan berharap bisa kenal TLF lebih dekat.
Menuruti kata bijak "pay it forward", lewat tulisan ini saya ingin berterima kasih dan meneruskan kebaikan yang telah kami dapatkan dengan menggambarkan proses yang kami lalui. Semoga akses alternatif pendidikan bagi para remaja yang punya keinginan kuat dalam hidupnya semakin terbuka lebar.
Hujan deras menyambut kami setiba di Terminal Kampung Rambutan. Syukurnya taksi yang kami tumpangi dapat berhenti di pintu keluar terminal, tepat di depan bus PO Marita jurusan Cianjur yang akan kami naiki. Setengah berlari kami menuju bus AC berukuran sedang ini.
Bus baru berisi sekitar 10 penumpang, namun tanpa menunggu penuh langsung bergerak meninggalkan Kampung Rambutan. Di putaran balik Pasar Rebo sempat ngetem menunggu tambahan beberapa penumpang. Jam tangan saya menunjukkan pukul 5.45 ketika akhirnya bus meluncur memasuki jalan tol Jagorawi.
Tak sampai 1 jam, bus sudah sampai di Ciawi. Mendung tampak mengelayut di langit, namun hujan belum turun sederas di Jakarta. Lalu lintas puncak lancar pagi itu, bus hanya sempat tersendat sebentar di depan sebuah SD di daerah Gadog dan menjelang Pasar Cisarua. Sejam kemudian kami sudah turun dari bus di simpang tiga sebelum Pasar Cipanas.
Mata kami dengan cepat menyisir pinggiran jalan, mencari angkot kuning jurusan Cipanas-Mariwati-Taman Bunga Nusantara. Ada beberapa angkot kuning, tapi bukan jurusan yang kami cari atau tidak ada petunjuk jurusan. Ternyata penandanya adalah strip di bagian angkot. Sistem yang sama dengan angkot di Bandung. Jurusan yang kami cari dapat dikenali dari strip ungunya.
TLF yang jadi tujuan kami berlokasi di Desa Kawungluwuk, Sukaresmi, Cianjur. Tak jauh dari Taman Bunga Nusantara. Menurut google map jaraknya sekitar 4 km dari simpang Jl Gadog I tempat kami naik angkot. Angkot kami berjalan pelan berbelok masuk dan menyusuri Jl. Mariwati hingga melewati Pasar GDC di persimpangan dengan Jl. Hanjawar.
Lepas dari Pasar GDC, kami mulai bersiap mengamati sisi kanan mencari jalan akses masuknya. Belum terlihat ada papan petunjuk di simpang jalan masuknya. Barangkali karena lahan seluas 2,4 hektar tersebut baru sekitar empat bulan ditempati. Asrama dan kebun yang 80% dana pembangunannya berasal dari Singapore Red Cross ini rencananya baru akan diresmikan tanggal 7 Maret 2016 mendatang.
Memasuki gerbang The Learning Farm, terdengar lagu Indonesia Raya tengah dikumandangkan. Tampak para siswa-siswi berbaris rapi di aula. “Wah terlambat,” pikir kami. Tapi ternyata lagu kebangsaan tersebut tidak dinyanyikan sampai habis, mereka hanya gladi resik. Kami justru rombongan tamu pertama yang sampai pagi itu. Beberapa pengurus dan tamu dari Jakarta masih terjebak macet akibat hujan deras yang menguyur ibukota.
Para wisudawan mengisi waktu dengan bergoyang bersama mengikuti irama lagu Jamilah khas Ende, yang kemudian disambung lagu Sajojo. Dari perawakan dan raut mukanya jelas terlihat kalau mereka berasal dari beragam daerah di Indonesia. Semua berbaur jadi satu tampak bahagia.
Tepat pukul 9.00 WIB acara dimulai dengan upacara bendera dengan pembina upacara Direktur Eksekutif TLF, Nona Pooroe Utomo. Upacara yang hanya diikuti oleh seluruh peserta dan para mentor berlangsung singkat sekitar 30 menit. Begitu barisan dibubarkan seluruh siswa-siswi dengan sigap mengambil kursi dari ruang sebelah dan menyulap aula menjadi tempat acara wisuda.
Panggung kecil sudah disiapkan, di belakangnya terpasang spanduk bertuliskan Happy Graduation Basic Batch 26 & STL 2016-2017. Para tamu kemudian mulai dipersilakan duduk. Sebagian besar tamu adalah perwakilan lembaga maupun individu yang mengirimkan peserta. Sekitar pukul 10.00 WIB acara wisuda pun dimulai.
“Ada 39 peserta Basic dan 18 peserta STL yang lulus hari ini. Asal peserta tersebar dari 18 propinsi, mulai dari Sumatera Barat sampai Pulai Kei Besar di Maluku. Bahkan untuk pertama kalinya kami bekerjasama dengan UNHCR, menerima tiga remaja pengungsi asal Somalia dan Afghanistan dalam Basic Batch ini. Selain itu kami juga sangat gembira dengan adanya 9 peserta Basic perempuan, untuk pertama kalinya jumlah perempuan sampai 25%, padahal biasanya tak pernah lebih dari 10%,” ungkap Bu Nona dalam sambutan pembukaannya yang mengangkat statistik peserta.
Tiap angkatan Basic, TLF membuka kesempatan bagi 40 peserta. Rekrutmen peserta mengandalkan rekomendasi dari jejaring yang dimilikinya. Kandidat akan diwawancara langsung oleh pengurus TLF via telpon. Seluruh biaya kegiatan, akomodasi, dan hidup selama mengikuti program ditanggung penuh oleh TLF. Namun TLF tidak menanggung biaya perjalanan dari tempat asal ke TLF dan sebaliknya. Biasanya lembaga atau individu yang merekomendasikan kandidat yang menanggungnya.
Sejauh ini TLF nampak berhasil menggalang dana dari perusahaan, lembaga, maupun perorangan [5], [6]. [7] untuk memenuhi kebutuhan biaya sebesar 1.000 USD atau sekitar 13 juta rupiah bagi tiap peserta Basic [8]. Ada pula perusahaan yang berkontribusi terhadap biaya program bagi kandidat dari wilayah binaan yang dikirimnya. “Kami mensponsori peserta dari Cilegon melalui program CSR kami,” cerita seorang staf PT Krakatau Posco yang hadir untuk menyaksikan wisuda sekaligus menjemput pulang peserta yang dikirimnya.
Saya tahu tentang TLF dari Santi Damien, mantan Direktur Eksekutif TLF periode 2011-2014, sekitar satu setengah tahun yang lalu. Kami bertemu di Klub Oase, komunitas homeschooling tempat anak kami berkegiatan bersama. Bagi saya program ini sangat menarik karena prasyarat utamanya adalah niat yang kuat untuk menjadi lebih baik. TLF sama sekali tidak mewajibkan ijazah formal karena percaya setiap orang berhak atas kesempatan kedua.
Usai acara wisuda kami berkenalan dan berbincang dengan para tamu lainnya serta beberapa siswa sambil menikmati makan siang.
“Kami kirim empat pemuda dari Pulau Kei Besar untuk ikut Basic Batch 26,” ungkap Lisa Suroso, inisiator Cerita Anak Pulau. Lisa berharap para pemuda ini akan menjadi perintis untuk kembali mengolah ladang di kampungnya. “Kasus gizi buruk tinggi sekali di Pulai Kei Besar. Sayuran segar sangat mahal. Dengan uang yang terbatas warga lebih memilih mengkonsumsi makanan instan,” tutur Lisa.
“Saya dikirim oleh Yayasan WWF bersama tiga kawan lainnya,” jawab Dayu, peserta dari daerah penghasil kopi di Lampung ketika saya tanyakan bagaimana ia bisa sampai bergabung dengan TLF.
Sementara itu Riani Purnamasari, pengajar Bahasa Indonesia dari Yayasan Tzu Chi, datang ditemani lima remaja pengungsi dari Afghanistan. “Yayasan Tzu Chi membantu mengurus sembilan pengungsi tanpa wali yang masih berusia di bawah 18 tahun. Yang paling muda, baru berusia 14 tahun,” tutur Riani. Hanya setahun lebih tua dari putra saya.
Nasib Husain lebih baik dibanding Khaleed dan Momo, dua pengungsi asal Somalia yang juga lulus dari Basic Batch 26. “Kami akan antar ke daerah Ciputat, tempat tinggal kebanyakan pengungsi Somalia. Lepas dari sini mereka harus hidup mandiri karena sudah berusia 19 tahun, sudah dianggap dewasa,” ungkap Valensia Gowanda, Senior Community Services Assistant UNHCR, badan PBB yang mengurusi pengungsi.
Kata hidup mandiri mengusik pikiran saya, karena sebagai pengungsi mereka tidak punya ijin untuk bekerja di Indonesia. Saya tahu aturan ini dari dua orang pengajar dari Dompet Dhuafa yang mengajar Bahasa Indonesia di School of Refugee. Fitri dan Frima dua guru yang penuh dedikasi menyambangi kami di GARASI akhir Januari 2017 lalu dalam rangka mencari bentuk pengajaran yang pas bagi anak-anak pengungsi.
Saya sama sekali tak pernah menduga takdir akan membawa kami berkontak begitu dekat dengan kehidupan pengungsi. Sesuatu yang selama ini hanya kami dengar lewat berita. Saya tak mampu menahan haru ketika Khaleed dan Momo berpisah dengan teman dan para mentor di TLF. Saya hanya bisa berharap takdir yang terbaik bagi mereka dan juga para pengungsi lainnya.
Menurut Valen, para pengungsi dan pencari suaka berada di Indonesia menunggu dapat ditempatkan ke negara ketiga. Mereka meninggalkan negaranya akibat perang dan konflik. Saat ini ada sekitar 14 ribu pengungsi antara lain berasal dari Afghanistan, Somalia, dan Myanmar yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Di Jakarta dan sekitarnya ada sekitar 5 ribu.
Selepas makan siang, Eka memandu kami berkeliling asrama dan kebun. Kegiatan TLF berpusat di tiga bangunan beratap pelana yang tersusun membentuk huruf U, menghadap sebuah lapangan di tengahnya. Bangunan aula tempat wisuda berlangsung berada di sisi barat, satu atap dengan kantor pengajar dan ruang kelas siswa Basic. Asrama putra menempati sisi utara, sementara asrama putri di sisi selatan satu bangunan dengan dapur umum.
Kebun yang menjadi tempat belajar praktek sehari-hari terbentang ke arah timur. Kebun milik TLF berbatasan langsung dengan kebun bunga potong dan saung jamur milik tetangga. Siswa program Basic menanaminya dengan sayuran dan bertugas merawatnya secara rutin. Tiap selasa dan kamis mereka bergiliran praktek pemasaran dengan mengantar hasil panen ke pelanggan di Jakarta.
Sementara itu siswa STL diarahkan untuk meneliti dan melakukan inovasi di bidang pertanian. Mungkin itu juga yang membuat saung tempat belajar STL dibangun di tengah-tengah kebun yang menjadi lokasi penelitian. Salah satu syarat kelulusan adalah menyusun laporan penelitian pribadi menjadi semacam mini skripsi. Saat wisuda, kami menyaksikan perwakilan wisudawan STL secara simbolis menyerahkan buku laporan penelitiannya sebagai sumbangsih kepada TLF.
Hari wisuda juga jadi kesempatan kami bertemu langsung dengan para mentor, yang sebelumnya baru kenal lewat suara ataupun pesan singkat. Mereka tampak mampu memposisikan diri sebagai sahabat bagi para peserta, tanpa kehilangan wibawa. Para mentor nampak berkaca-kaca melepas para peserta. “TLF adalah rumah kedua bagi kalian semua, kapanpun ingin datang, tempat ini selalu terbuka,” pesan Bu Nona di akhir sambutannya.
“The world is your oyster. Kamu sendiri yang harus memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk menghasilkan mutiara,” dorong Bu Nona di hadapan wisudawan.
Hari itu kami bangga sekali dengan Eka, remaja kelahiran 7 Mei 2000 ini. Ia telah merangkul erat kesempatan yang muncul dihadapannya. Kami masih ingat ketika bibinya yang sudah cukup lama kami kenal pertama kali curhat tentang Eka. “Keponakan suami saya selalu bilang ingin sekolah, tapi ijazahnya masih ditahan sekolah” cerita bibinya yang datang meminta saran. Kami pun memintanya membawa Eka agar dapat bertemu langsung.
Lulusan SMP angkatan 2015 itu pun datang ke GARASI di akhir bulan Maret 2016. Ia belum lama tinggal di Jakarta ikut kedua orang tuanya mengadu nasib. Ayahnya terlilit hutang, usaha distribusi pupuk yang dijalankannya di Lampung macet karena petani kesulitan membayar akibat banyak yang gagal panen. Ijazahnya tertahan karena belum melunasi biaya karyawisata.
Selama di Jakarta ia dititipkan di rumah salah satu bibinya yang lain di daerah Perkampungan Industri Kecil Penggilingan (PIK) yang masih satu kelurahan dengan GARASI. Kebanyakan remaja putri dan ibu-ibu di daerah tersebut bekerja sambilan membuang sisa benang di industri garmen. Ia pun ikut bekerja, menabung dengan harapan dapat menebus ijazah.
Begitu mendengar cerita Eka, terus terang kami enggan menyarankan masuk sekolah formal. Kami ragu dengan kualitas sekolah swasta yang biayanya masih dapat kami tanggung. Belum lagi rumitnya urusan pindah sekolah dari daerah ke Jakarta. Alih-alih bertambah ilmu, bisa-bisa terseret pergaulan yang tidak jelas. Setelah luluspun belum tentu siap untuk kerja.
Sehari sebelumnya Kusnaka Bowo yang baru saja lulus dari Basic Batch 24 baru saja menyambangi GARASI. Ia bercerita dengan antusias dan penuh percaya diri pengalamannya mengikuti TLF. “Saya senang punya banyak teman-teman yang baik,” ungkap Bowo (19 tahun). Ketika Bowo yang lulus SD dengan nilai pas-pasan, membaca masih tersendat, dan bicara menunduk tak percaya diri, kembali dari TLF dengan mata yang bersinar dan berani bertatapan dengan lawan bicara, itu sudah luar biasa bagi kami.
Kamipun menawarkan Eka untuk ikut TLF. Kami kontak Bowo untuk datang dan bercerita lagi ke Eka. Kami tunjukkan juga video tentang TLF. “Setidaknya ikut dulu TLF selama 100 hari, nanti kalau tetap ingin sekolah bisa mulai di tahun ajaran baru,” bujuk kami ke Eka. Kami beri Eka waktu untuk berdiskusi dengan orangtuanya dan mengambil keputusan secepatnya karena Basic Batch 25 sudah akan dimulai.
Esok harinya Eka kembali bersama ayahnya dengan hati mantap. Kami sekali lagi menegaskan bahwa bila sudah bergabung tidak bisa mundur di tengah jalan karena alasan tidak betah. “Apa yang sudah dimulai harus diselesaikan sepenuh hati, karena kesempatan belum tentu datang dua kali dan banyak orang sudah bekerja untuk mengupayakan kesempatan ini,” tegas kami.
Ketika Eka sudah paham konsekuensi berkomitmen maka kami kirim kabar ke TLF. Tak lama Pak Mursyid, Program Manager TLF yang dulu juga mewawancari Bowo, menghubungi kami via telpon rumah untuk mewawancarai Eka. Begitu pembicaraan selesai Eka mengabarkan kalau ia diterima dan diminta langsung berangkat ke TLF besoknya.
Selang beberapa hari Eka mengabarkan via pesan singkat, “Saya betah tinggal di sini bu, temannya baik. Ada yang dari Makassar, Flores, Halmahera, Palu, Jepara, Madura, yang dari Lampung juga ada. Eka jadi yang paling muda.” Menjelang lulus dari Basic Eka kembali mengabarkan kalau ia ditawarkan dan berniat lanjut STL selama 200 hari.
Di masa jeda antara program Basic dan STL Eka sempat pulang dan mampir ke GARASI. Kala itu ia memang bercerita sedang ikut program IAYP untuk mencapai tingkat bronze. Ia ikut secara sukarela dan diminta membuat komitmen pribadi yang sifatnya “Do it Yourself” terkait tiga aspek yaitu community service, personal skill, dan physical recreations. “Saya pilih membersihkan musholla dekat TLF, berlatih membuat prakarya daur ulang, dan lari secara rutin,” jelas Eka. Ia pun menunjukkan buku catatan yang harus diisi untuk merekam kegiatannya tersebut.
Kami ikut gembira ketika hari ini Eka berhasil meraih apa-apa yang diupayakannya dengan sungguh-sungguh. Perjalanan Eka masih panjang, semoga kekuatan berkomitmen dan kerja keras menjadi modalnya untuk meraih kesempatan-kesempatan berikutnya, menuju takdir terbaik dalam hidupnya.
Pendaftaran sebagai program Basic dibuka setiap saat. Informasi lengkap pendaftaran bisa dilihat di laman Enrollment pada situs The Learning Farm. Basic Batch 27 akan segera dimulai tanggal 9 Maret 2017.