Sekalipun demikian, tampak kentara Melrizky memiliki keterbatasan fisik. Matanya tidak dapat melihat sejak lahir. Menurut sang pengasuh, kedua orangtua Melrizky juga tuna netra. Tak ubahnya anak lain seusianya, Melrizky sudah mulai bersekolah. Di sebuah SLB yang berada di bilangan Condet, menurut sang pengasuh.
Tergelitik rasa ingin tahu, saya pun lanjut bertanya bagaimana cara Melrizky sehari-hari pergi ke sekolah.
“Setiap hari kami berdua biasanya naik Transjakarta di Jl. Pemuda, lalu turun di By Pass dan naik lagi yang ke arah PGC Cililitan. Dari PGC lanjut naik angkot ke Condet ”, tutur sang pengasuh menjelaskan cara Melrizky pergi sekolah dari tempat tinggalnya di daerah Rawamangun.
“Memang sengaja disuruh mamanya supaya biasa dengan keramaian dan mandiri” jelasnya lebih lanjut. Barangkali karena tanggap melihat raut wajah saya yang tampak takjub dengan jawabannya.
Pasti Melrizky punya orangtua yang sungguh luar biasa. Sejak dini melatih kemandirian sang anak dengan naik angkutan umum. Padahal dewasa ini makin jarang ditemui orang tua yang membiasakan anaknya naik angkutan umum, sekalipun sang anak kondisinya tidak kurang suatu apapun.
Bila ditilik pangkal penyebabnya adalah kondisi angkutan umum di ibukota ini yang jauh panggang dari api. Mulai dari jumlahnya yang minim, armadanya yang tak terawat, pengemudi yang ugal-ugalan, hingga ancaman kriminalitas yang belakangan ini makin ganas. Ujung-ujungnya naik angkutan umum memang bisa jadi momok tersendiri.
Sejujurnya saya bisa memaklumi bila banyak orangtua justru menghindari buah hatinya naik angkutan umum. Tapi perkenalan dengan Melrizky menggelitik saya untuk berpikir ulang. Adakah keterampilan hidup
yang terasah dengan membiasakan anak naik angkutan umum? Kesempatan apa yang sesungguhnya terlewatkan dengan membiasakan anak naik mobil pribadi? Lewat tulisan ini saya mencoba mengurainya.
Berani, mandiri, adaptif, dan berempati
Life skills atau keterampilan hidup dirumuskan oleh World Health Organization (WHO) sebagai kemampuan untuk berperilaku yang adaptif dan positif yang membuat seseorang dapat menyelesaikan kebutuhan dan tantangan sehari-hari dengan efektif, tulis seorang praktisi Pendidikan Rumah, Soemardiono, dalam artikel di blog pribadinya yang menyigi “Apa itu life skills?”
Tantangan yang ditemui saat mengarungi ibukota dengan angkutan umum bisa beragam dan tak terduga. Tapi justru itulah celah peluang untuk melatih buah hati agar berani dan mandiri serta berperilaku adaptif menghadapinya. Keterampilan yang akan menjadi modalnya dalam menghadapi tantangan hidup lainnya bila kembali mengacu pada definisi WHO di atas.
Terlebih saat naik angkutan terdapat kesempatan untuk berkontak langsung dengan banyak orang. Pengalaman yang ditemui dijamin jauh lebih beragam dibanding sekedar duduk di dalam mobil dan memandang dari balik jendela. Kesempatan tersebut bisa bermanfaat sebagai ajang latihan bagi si kecil agar cermat mengamati keadaan sekeliling serta berempati.
Terhambat aktivitas
Teringat cerita pengalaman seorang sahabat, wanita paruh baya, yang baru saja pergi bersama seorang temannya yang seumur-umur selalu bepergian dengan mobil pribadi atau paling tidak taksi. Walaupun di hari itu tidak ada mobil yang dapat dipakai, karena pentingnya urusan mereka tetap memutuskan pergi dengan taksi.
Singkat cerita mereka sampai di lokasi tujuan dengan mudah dan selamat. Persoalan muncul ketika hendak pulang. Sahabat saya hendak melanjutkan perjalanan ke tempat berbeda dengan angkutan umum, sementara sang teman hendak pulang dengan taksi. Sialnya, tak satupun taksi yang bersedia membawa sang teman ke tujuannya. Jalanan pun macet parah.
Satu-satunya kendaraan yang bisa bergerak hanya bus Transjakarta. Akhirnya diputuskan untuk naik bus Transjakarta sampai suatu tempat yang cukup mudah mencari taksi. Tapi saat hendak dilepas turun dan mencari taksi sendiri, teman sahabat saya tsb tampak cemas. Sahabat saya tentu jadi tidak tega dan akhirnya ikut turun, menemani sampai sang teman mendapatkan taksi.
Beberapa kali saya juga mendengar cerita kenalan yang terpaksa membatalkan rencananya karena alasan mobilnya sedang dipakai atau supir berhalangan. Mereka mengaku tidak merasa cukup percaya diri untuk berpergian dengan angkutan umum.
Alah bisa karena biasa
Lain lagi pengalaman Tita yang dibesarkan oleh orangtua yang menjadikan angkutan umum bagian dari kehidupan keluarganya. Kebiasan tersebut membuat Tita sejak kecil sudah hafal nomor bis yang lewat depan rumah dan di sebelah mana antriannya. Termasuk bagaimana cara memberi tanda ke kondektur ketika hendak turun.
“Masih jelas dalam benak saya kali pertama terpaksa pulang sendiri naik metro mini karena tertinggal mobil antar jemput. Pulang dari sekolah di Blok M ke rumah di Tanah Kusir. Saat itu saya masih kelas 2 SD.” ungkap Tita.
“Zaman itu kami tidak punya telpon rumah untuk bisa sekedar mengabarkan ataupun minta dijemput. Syukurlah dengan nekad meniru apa yang biasa dilakukan ketika bersama orangtua naik angkutan umum, saya bisa sampai rumah dengan selamat.” tuturnya lebih lanjut.
Bila mengenang kembali kejadian tersebut, Tita benar-benar merasa bersyukur orangtuanya sering membawanya naik angkutan umum sejak kecil, Tanpa disadarinya keterampilan hidup tersebut terbangun dalam dirinya. Ibarat
kata pepatah, alah bisa karena biasa. Keterampilan tersebut pula yang membuatnya bisa “bebas” bepergian ke tempat manapun yang diinginkan sepanjang masa remaja dan dewasanya kini.
Keterampilan hidup warga kota maju
Boleh jadi sikap berani, mandiri, adaptif, dan berempati bisa juga dikembangkan dengan cara lain. Tapi tumbuh besar di zaman yang jumlah penduduknya sudah terlanjur besar dan sumber daya alam makin menipis, menuntut si kecil untuk mahir menggunakan angkutan umum. Bakal sulit mengandalkan mobilitas sepenuhnya dengan mobil pribadi di masa depan, tanpa menyengsarakan hidup orang lain.
Sekalipun nantinya secara finansial tiap keluarga mampu memiliki mobil pribadi, maka ruang kota tempat tinggal yang akan membatasi. Kota tak akan sanggup menampung semua mobil yang ada. Pada gilirannya keterampilan naik angkutan umum an sich mutlak perlu dimiliki oleh setiap diri yang mengidamkan hidup di kota yang maju, sebagaimana dikutip dari Penalosa, mantan Walikota Bogota, Colombia, yang sukses meningkatkan kualitas hidup warganya
"An advanced city is not a place where the poor move about in cars, rather it’s where even the rich use public transportation"
Bagaimana mulai melatihnya?
Untuk mulai melatih si kecil naik angkutan umum, rasanya tidak perlu menunggu hingga seluruh angkutan umum di Jakarta sudah aman dan nyaman. Apalagi sampai menyengajakan diri mengajak si kecil keluar negeri untuk sekedar menjajal angkutan umum. Naik commuter lane Jabodetabek atau bus Transjakarta bisa jadi awal untuk mengenalkan angkutan umum pada si kecil, asalkan jangan di jam sibuk.
Hampir tiga tahun yang lalu Shinta, seorang sahabat yang biasa bermukim di negara Paman Sam, dibuat terkagum-kagum ketika saya ajak naik kereta commuter lane bersama dua putrinya yang masih duduk di SD. Di kota kecil tempat tinggalnya praktis semua mobilitas dilakukan dengan mobil pribadi.
“Ternyata enak ya naik kereta,” komentar Shinta. Bahkan ketika pulang kampung lagi ke Jakarta tahun lalu, ia mengandalkan commuter lane untuk mobilitasnya di bersama dua anak tanpa saya temani.
Dalam kesempatan lain saya pernah pula mengajak rombongan ibu-ibu tetangga bersama anak-anaknya menjajal commuter lane. Sekalipun perumahan kami hanya sekitar 500 m dari stasiun commuter lane, tapi ternyata banyak tetangga yang belum pernah mencobanya. Banyak yang penasaran, tapi ragu untuk mencobanya sendiri.
Perjalanan perdana tersebut diwarnai beberapa insiden. Sandal seorang anak sempat terjatuh ke lintasan saat naik kereta. Sementara seorang lagi kehilangan PSP game, dan baru disadarinya ketika sampai di stasiun tujuan. Untunglah insiden tersebut tidak membuat kapok. Malah jadi pelajaran berharga bagi semua, ternyata naik angkutan umum memang perlu latihan supaya mahir.
Ujian berat bagi orang tua
Kala sudah mulai terbiasa dengan angkutan umum, maka terbayang ujian terberat bagi orang tua adalah melepaskan buah hati sendirian naik angkutan umum. Tapi dengan persiapan matang, Mesi, seorang ibu bekerja berhasil membiasakan putranya, Alif, sejak kelas 4 SD untuk pulang sekolah sendiri naik angkot.
Mesi mencarikan Alif teman seperjalanan. Lalu dipilihkan rute yang membuat ia tidak harus menyeberang jalan besar. Selain itu Alif juga diwajibkannya SMS sebelum naik angkot di depan sekolah dan langsung kirim SMS lagi saat sesampainya di rumah.
Seorang ibu lainnya, Fadjar, mengajarkan Bagas, putranya yang kini duduk di kelas 5 SD naik bus Transjakarta sendirian tiap hari sabtu untuk mengikuti kegiatan ekstra kurikuler di sekolah. Ibunda akan mengantarkan sampai halte Transjakarta yang di dekat rumah. Lalu Bagas akan turun sendiri di halte yang berada tepat di depan sekolah.
Saat kali pertama berhasil dilalui, kepercayaan orang tua terhadap anak pun mulai terbangun dan akan berkembang sejalan dengan waktu. Hingga akan tiba saatnya ketika ananda menikmati daya jelajahnya yang meluas dan bersyukur orang tuanya telah melatihnya naik angkutan umum sejak kecil. Keterampilan yang akan melekat dalam dirinya seumur hidup sebagaimana yang dialami Tita.
Bila orang tua Alif, Bagas, bahkan Rizki bisa berbesar hati, tentu Anda juga bisa!
FB Notes 26 Maret 2013