Laut dan langit yang semua berwarna biru tosca begitu memanjakan mata. Sehari penuh kami menikmatinya bersama beberapa teman. Tapi bagi saya perjalanan ini menyisakan kegundahan akan nasib warga SBD menghadapi terjangan gelombang pariwisata.
Pantai Kampung Adat Ratenggaro
Baru saja turun kami turun dari mobil, beberapa bapak terlihat bergegas mendekati kami. “Ayolah bantu bapak,” ujarnya berulang-ulang sambil menawarkan cinderamata buatan sendiri.
Sebagai penikmat cerita, saya coba mengorek cerita tentang kampung dari bapak-bapak tsb, tapi sayangnya tak banyak informasi yang keluar. Sulit bagi saya untuk lebih jauh menikmati alam, karena pikiran saya mulai tergelitik dengan kehadiran bapak-bapak warga Ratenggaro ini.
Pantai Pero
Kami melewati perkampungan nelayan bugis muslim ketika masuk ke Pantai Pero. Di pantai berteluk ini kami melihat beberapa kapal nelayan baru kembali melaut. Dari atas tebing kami melihat di kejauhan semua tampak sibuk bekerja, tak terusik dengan kehadiran kami.
Pantai Mandurok
Perjalanan kami berlanjut ke Pantai Mandurok yang memiliki gerbang masuk. Pantai sempit nan cantik ini terletak di antara dua karang besar. Sekelompok lelaki asyik memancing cumi dari atas kedua karang.
Beberapa anak kecil berambut merah karena terbakar matahari menyambut kehadiran kami, menawarkan cinderamata sambil setengah memaksa. Sebagian yang lain asyik bermain baling-baling plastik yang baru dibagikan salah seorang pengunjung.
Di sisi timur tampak lahan yang dibatasi pagar batu rendah. Sebuah rumah kayu beratap alang berukuran cukup besar ada di tengah-tengahnya. Saat duduk-duduk menikmati air kelapa, kami jadi tahu kalau itu milik WN Perancis. Pasangan suami istri penjual kelapa adalah penjaganya.
Laguna Weekuri
Matahari belum sampai di atas kepala, kami pun melanjutkan perjalanan ke Laguna Weekuri yang kini menjadi destinasi wisata utama SBD. Begitu sampai, kami keluarkan bekal makan siang bebas sampah yang sudah dibawa dari penginapan.
Seorang bapak tua bertongkat mendekati saung kami dan duduk di tepian menunggui kami menyantap makan siang. Beberapa anak kecil juga ikut mendekat. Sulit sebenarnya bagi saya menelan makan siang tanpa berbagi. Akhirnya kami tawarkan pisang yang kami bawa dan langsung disambut gembira.
Pantura SBD
Dari Weekuri kami pulang menyusuri jalan baru “pantura” SBD yang belum sepenuhnya rampung dibangun [1]. Lebih dari setengahnya masih berupa lapisan batu kapur yang sudah padat dan rata, tinggal menunggu di aspal.
Jalan baru ini dibangun tak jauh dari bibir tebing yang menyuguhi birunya laut Selat Sumba sejauh mata memandang. “Ini semua sudah ada investor yang punya,” tutur pengemudi mobil sewaan kami sambil menunjuk seluruh lahan kosong yang membentang sepanjang jalan.
Kenapa gundah?
Selepas perjalanan ke SBD kali ini, saya jadi kembali teringat perjalanan ke Sumba Timur tepat setahun yang lalu. Kala itu teman-teman Mai La Humba memandu kami berwisata keliling kampung di Lambanapu, Sumba Timur. Ada kekuatan yang memunculkan asa usai perjalanan tsb. Sungguh berbeda dengan perasaan setelah perjalanan ke SBD kali ini.
Saya jadi tersadar wisata kampung yang dirintis Mai La Humba dengan dampingan Wisata Arkeologi Jaladwara ini sungguh penting untuk diperjuangkan. Menggali dan mengeluarkan cerita serta potensi dari kampung adalah jalan untuk mendapatkan nilai tambah dari pariwisata tanpa harus terseret dalam gelombangnya. Inilah masa depan kalau mau tetap jadi tuan rumah dan punya kehidupan di tanah milik sendiri menurut saya.
Semoga teman-teman Mai La Humba punya kekuatan dan daya tahan untuk menumbuhkan dan merawat motivasi internal dalam diri sehingga bisa mandiri mengembangkan lebih jauh wisata kampung yang sudah dirintis.
Referensi:
[1] http://www.victorynews.id/jalan-pantura-bakal-jadi-jalur-ekonomi-dan-pariwisata-sbd/